My Coldest CEO

4| About Felia



4| About Felia

0Tidak ada acara berendam di bathtub dengan aroma manis yang menenangkan diri, tidak ada juga acara kecantikan memakai masker dan deretan skincare, serta tidak ada setelan piyama cantik yang melekat di tubuhnya.     

Semua hanya tentang kesederhanaan, dan ketidakmampuan membeli semua barang mewah. Tinggal di pekarangan rumah mewah adalah hal yang paling tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.     

Namun apa arti saat 'rumah mewah' itu hanya sekedar 'rumah perkakas' pada kenyataannya.     

Mau tanya dimana Felia tinggal? Di dalam ruangan yang berisi berbagai macam peralatan kerja, berada tepat di halaman belakang 'rumah mewah' ini. Miris? Tentu saja tidak, yang terpenting ia masih memiliki tempat perlindungan dari perubahan cuaca di luar sana.     

Ya sebenarnya Felia menganggapnya sebagai 'rumah kecil'. Sudah di renovasi juga oleh sang Tuan rumah, layaknya seperti rumah namun hanya sepetak saja. Kamar mandi yang sempit, bahkan ia tertidur satu udara dengan barang rongsokan yang sebenarnya masih bisa berfungsi namun sudah tidak diinginkan lagi.     

Enaknya jadi orang kaya, bosan langsung buang. Kalau prinsip Felia, selama barang itu masih bisa di pakai dan kegunaannya pun masih sempurna, untuk apa cari pengganti yang bahkan belum tentu membuat nyaman?     

Tidak ada yang istimewa dari hidupnya. Entah kedua orang tuanya berada di mana pun, ia tidak pernah tahu. Mencari pekerjaan, dan ada seorang wanita mabuk menawarkannya pekerjaan. Dan tentu saja awalnya ia menolak, dan ternyata ini lah pekerjaan yang di maksud.     

"Menjadi asisten rumah tangga ternyata tidak buruk," gumam Felia sambil membanting tubuhnya ke atas kasur. Perutnya pun tidak berbunyi seperti malam-malam sebelumnya, ini semua berkat Leo.     

Yang biasanya ia bingung memutar pengeluaran karena tidak mendapatkan jatah makan di rumah sang majikan, membuat dirinya merasa pusing karena gaji perbulannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.     

50 : 50     

Itu yang ia selalu coba terapkan untuk mengelola pendapatan hasil kerja kerasnya.     

50% uang dari gajiannya tiap bulan di masukan ke rekening tabungan, dan sisahnya untuk hidup.     

Menggulingkan tubuhnya seperti mencari posisi tiduran yang tepat, lalu tangannya meraih ponsel yang berada di atas bantal persegi miliknya.     

Ia dulu tidak terlalu penasaran dengan orang-orang penting seperti keluarga terpandang layaknya marga Luis. Tapi entah kenapa, sepertinya untuk hari ini rasa penasarannya itu muncul seketika.     

Membuka sosial media yang paling di gemari banyak manusia, ia pun langsung saja mengetik nama 'Leonardo Luis' di kolom pencarian.     

Dan ya, akun dengan centang biru sudah tersuguh di layar ponselnya. Berbagai macam postingan dari mulai laki-laki tersebut yang berfoto dengan berbagai macam koleksi mahal transportasi sampai berlibur ke berbagai negara pun ada juga foto bersama Vrans Moreo Luis, mulai menarik perhatiannya lebih dalam lagi.     

"Gimana ya rasanya ke Paris? Negara idaman semua orang, termasuk aku."     

"Ah kayaknya makan spaghetti langsung di Italia tuh suasananya enak banget deh, lebih spesial."     

"Kalau punya koleksi mobil seperti ini, pasti gak bakalan repot-repot kepanasan di jalan deh."     

"Apalagi ini, jet pribadi... gak bisa berkata-kata lagi deh aku. Pasti kalau mau keluar negeri enak banget deh bisa terbang tanpa harus desak-desakan dengan orang lain."     

Melihat beraneka ragam postingan membuat Felia menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan kekayaan seorang Luis. Jangankan postingan Leo yang kelihatan sekali 'terkaya' nya, bahkan postingan sang putra juga sama seperti itu.     

Drtt...     

Drtt...     

Drtt...     

Felia tersentak kaget kala melihat sebuah panggilan masuk dengan nama seorang wanita yang sudah membuatnya memiliki pekerjaan sampai saat ini. Dengan segera tanpa ingin berlama-lama pun ia mengangkatnya, membesarkan speaker supaya tidak perlu repot-repot menaruh ponsel di daun telinga.     

"Halo, Nona. Ada apa?" tanyanya dengan nada yang memang masih sangat sopan, bahkan walaupun wanita di seberang sana ini memiliki umur yang hampir setara dengannya pun ia masih menyelipkan panggilan 'Nona' untuk dia.     

Terdengar decakan kecil dari seberang sana, "Ayolah Fey, panggil saja aku Ica. Itu lebih mudah dan tidak perlu repot-repot memanggil dengan Nona, memangnya aku keluarga pejabat?" ucapnya sambil terkekeh kecil dari sana.     

Felia meringis kecil dengan apa yang dikatakan Ica di seberang sana, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi kan memang Tuan itu pejabat, jadi bukan salah ku kalau memanggil mu Nona." ucapnya dengan nada yang tidak enak.     

Lagipula apa itu, merendah untuk meroket atau merendah untuk di ungkit kebenarannya?     

"Ah iya, ku lupa. Tapi ingat tetap saja jangan pakai Nona atau embel-embel yang seperti itu."     

"Iya baik Non-- Ica,"     

Hampir saja keceplosan. Ia benar-benar tidak bisa mengubah panggilan untuk orang lain secara cepat, jadi sedikit gugup seperti ini.     

"Kau bahkan keseringan lupa, Felia." ucap Ica di seberang sana. Entah apa yang dilakukan wanita itu pun Felia tidak tahu, karena hanya terdengar suara musik yang di putar dengan volume kecil, mungkin hanya untuk pengisi suasana saja.     

"Maaf," gumam Felia.     

"Oh ya, apa kamu sudah makan? Tadi aku mampir ke salah satu restoran untuk membeli take away makanan, apa ingin ku antar sekarang?" tanya Ica. Dari nada bicaranya memang sangat peduli dengan Felia, ya entah kenapa hanya menganggap kedekatan mereka saja seperti layaknya adik dan seorang kakak.     

"Tidak, Ica. Aku tidak ingin makan, sudah kenyang."     

"Oh ya? Memangnya kamu makan apa? dan dimana? Tumben sekali sudah makan, biasanya setiap malam kau merengek."     

"Bertemu dengan Tuan, tapi ternyata batal karena dirinya ingin bertemu dengan kolega. Jadi, aku memutuskan untuk sekalian makan malam saja."     

"Dan apakah kamu sudah pulang?"     

"Tentu, aku tidak pernah berani untuk pulang terlarut malam, takut bertemu dengan penjahat."     

"Ah kau ada-ada saja, oh ya! Apa kamu sudah pakai baju yang aku belikan? Jangan bilang kamu masih memakai kaos lusuh itu,"     

Felia meringis kecil saat Ica mengatakan jika bajunya ini lusuh, lalu dengan refleks meneliti pakaiannya. Ya memang benar sih, bahkan warna dari kaosnya ini sudah luntur. "Ah itu, baju dari mu ada di lemari pakaian, masih tersegel." ucapnya mengatakan dengan jujur, bahkan untuk berbohong saja ia tidak pernah sanggup.     

Hei, selugu ini kah dirinya?     

"Kenapa tidak di kenakan? Huh?"     

"Masalahnya, kamu membelikan diriku lingerie.." jawab Felia dengan nada kecil. Tentu saja ia malu mengatakan hal ini. Toh selama dirinya menunjukkan penampilan di depan umum, tidak pernah terbesit untuk memakai pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh. Apalagi saat dirinya sendirian di ruangan ini, sudah pasti kalau memakai pakaian tidur seperti itu akan terasa risih.     

Ica hanya tertawa, lalu berdehem untuk menghalau tawanya supaya tidak berkepanjangan. "Ayolah, supaya kamu tidak ketinggalan jaman." ucapnya.     

"Memangnya menutup lekuk tubuh itu ketinggalan jaman ya?"     

"Ah bukan begitu, maksud ku supaya lebih menarik saja. Siapa tahu nanti ada laki-laki yang terpesona, iya kan?"     

"Ah jangan memikirkan laki-laki dulu, masa depanku saja belum tentu jelas."     

"Kenapa berkata seperti itu? Bisa jadi jodohmu itu seseorang yang kamu temui hari ini."     

Tiba-tiba saja, pikiran Felia langsung melayang kembali mengingat sosok laki-laki sempurna yang dengan bodohnya ia samperin tanpa tahu kalau sebenarnya dia bukanlah orang yang di cari. Astaga betapa ceroboh sekaligus bodoh dirinya, menyebalkan sekali saat tahu kalau salah orang, malunya sampai teringat.     

Felia menepuk keningnya, lalu mengubah posisi tidurnya menjadi duduk di atas kasur dan langsung menyandarkan tubuh di kepala kasur. Yang menjadi media tatapannya kini adalah sebuah tembok berwarna abu-abu. "Ah untuk hal itu sepertinya tidak, hanya angan-angan saja." ucapnya sambil mengingatkan dirinya supaya tidak bisa diam-diam menimbulkan sebuah perasaan untuk berharap ketemu kembali dengan seorang Leo yang bernotabene sangat lah sibuk.     

"Kenapa? Namanya juga takdir kok, kalau nanti ternyata orang yang kamu maksud itu benar-benar milih kamu, jangan lupa kenalin ke aku."     

"Eh? Apa sih, gak mungkin tau! Soalnya kalau bermimpi tapi ketinggian, pasti nanti jatuhnya sakit. Tambah biaya rumah sakit lagi deh,"     

Felia dan juga Ica sama-sama tertawa. Sejak Felia tahu kalau wanita tersebut gemar mabuk, sejak saat itu juga dirinya tidak pernah menilai Ica dari perilaku yang memang sangat menyimpang itu.     

Baginya, manusia nakal dan suka sekali melakukan pelanggan, bukan berarti dia tidak mempunyai hati. Intinya seperti ini, ini pesan dari Felia yang sama seperti pesan banyak orang di luar sana 'jangan menilai buku dari sampulnya'.     

"Ah yasudah aku ingin bersih-bersih tubuh dulu,"     

"Pulang belanja lagi, iya kan?"     

"Iya, itu kan memang hobi ku."     

Felia hanya menggelengkan kepalanya, ia paham sekali dengan Ica yang suka berbelanja barang ini dan itu.     

"Kalau begitu, aku tutup panggilannya, bye!"     

"Bye!"     

Pip     

Sambungan telepon pun terputus atas persetujuan dari kedua belah pihak. Kini, Felia kembali menaruh ponselnya di atas kasur. Ia menatap tembok seolah-olah di sana ia bisa merasakan ketenangan.     

Iri dengan kehidupan orang lain yang jauh berada di atasnya? Tentu saja tidak! Ia memang belum bisa meraih penghasilan yang cukup membanggakan, tapi nanti sedikit demi sedikit harapan yang muncul di hatinya akan terlaksana.     

Kuncinya, kalau ada usaha pasti ada hasil yang tergantung dengan usaha itu sendiri.     

"Ayo Felia, waktunya untuk tertidur dan bukannya mikirin hal yang tidak jelas."     

Sederet kalimat itu keluar dari mulutnya, tentu saja untuk dirinya sendiri. Sebuah kata pengantar sebelum tidur yang sangat berguna untuk memberikan ketenangan di dalam hatinya.     

Ada satu hal yang menjadi pelajaran untuk hari ini. Leo yang memiliki segalanya bahkan tidak mempunyai seseorang untuk mengisi waktu luangnya, terbukti dari yang tadi makan sendiri. Jelas Felia tahu betul kalau laki-laki tersebut sudah memiliki kekasih, namun seperti apa rupanya pun ia tidak tahu.     

Iya, dirinya memang katro. Jangankan bermain sosial media, menonton televisi pun jarang.     

Felia langsung saja membaringkan tubuhnya kembali. Menarik selimut yang tipis, lalu mulai memejamkan mata.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.